Kabul – Mengungsi di KBRI
Suatu pengalaman tak terduga yang membuat saya terpaksa mengungsi di ‘tanah air’ di tengah gelapnya malam Kabul.
Seperti biasa, mobil yang mengantar para pegawai kantor kami ke rumah masing-masing berangkat pukul 7. Matahari mulai merunduk di Afghanistan. Senja mulai menjelang di Kabul. Perjalanan pada malam hari mulai mencekam di mana jalan-jalan gelap pekat tak diterangi lampu seakan menelan semua mobil yang berlalu.
Saya tidak pernah ikut mobil jemputan, karena saya tinggal di kantor. KBRI juga sudah mulai menelepon, memberitahukan agar datang untuk mengikuti pertandingan olah raga menjelang Agustusan. Saya bilang masih ada sedikit urusan di kantor dan datang agak malaman.
Tiba-tiba, teman yang tadi pergi dengan mobil kantor datang kembali. Pukul 8. Wajahnya yang hitam kini nampak pucat pasi. “Kita diikuti pelaku bom bunuh diri!” serunya dengan tergagap.
Bom bunuh diri atau penculikan, tak seorang pun bisa memastikan. Namun memang benar, di halaman kantor nampak semua pegawai yang tadinya berangkat dengan mobil itu, datang kembali lagi ke kantor. Mereka tidak jadi berangkat karena mobil kantor diikuti oleh orang mencurigakan.
Simpang siur saya mendengar ceritanya.
Sejak pagi tadi, ada dua orang tak dikenal yang ‘nyanggong’ di depan pintu gerbang kantor. Pintu gerbang kami dijaga oleh bebarapa polisi bersenjata AK-47 yang mendiami sebuah pos kecil yang baru dibangun sejak kematian Zakia Zaki. Ingat nama ini? Dia adalah wanita pemilik radio swasta yang baru saja ditembak mati di rumahnya. Pengamanan kantor kami, yang juga banyak diisi para wartawati dan fotografer wanita, juga diperketat setelah adanya teror per telepon dan e-mail.
Dua orang ini sempat ditanyai polisi. Mereka bilang mereka mencari orang bernama Razak. Tidak ada Razak di kantor kami. Jelas ini adalah bohong-bohongan mereka untuk bisa tetap stand-by di sekitar pintu gerbang. Tentu saja mereka menarik kecurigaan polisi rahasia yang mengamankan sepanjang jalan ini. Jalan tempat kantor kami berada merupakan salah satu daerah sensitif di Kabul karena selain kantor tempat saya bekerja, juga ada KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), KBRI satunya lagi (Kedutaan Besar Republik India), Sekolah Perempuan Malalai, dan Kementerian Dalam Negeri. Tahun lalu sebuah bom meledak tak jauh dari kantor yang menewaskan beberapa staff pegawai kementerian. Karena itulah pengamanan sepanjang jalan ini menjadi sangat ketat, dengan berbagai informan tak berseragam dan polisi inteligen rahasia yang selalu mengintai orang-orang tak dikenal.
Seorang komandan polisi menanyai kedua orang ini alasan mereka menunggu di depan kantor kami sepanjang hari. Mereka mengaku bahwa mereka juga adalah polisi rahasia. Ketika diminta menunjukkan kartu pengenal, mereka menolak. Komandan polisi membiarkan orang tak dikenal ini.
Kami yang berada di dalam kantor sama sekali tidak mengetahui kejadian ini, hingga ketika mobil pengantar pegawai berangkat meninggalkan kantor, orang yang mengintai ini juga bercakap-cakap dengan telepon, dan kemudian melompat ke dalam mobil yang terus menerus mengikuti mobil pengantar pegawai ini.
Sadar diikuti, sopir kantor kami tiba-tiba menghentikan mobil di dekat kantor polisi di perempatan tak jauh dari kantor. Mobil yang menguntit, tiba-tiba berbalik arah dan kabur secepat-cepatnya. Mobil kantor, yang semua penumpangnya ketakutan, akhirnya memilih kembali ke kantor menunggu suasana reda.
Adalah Farida, seorang editor perempuan yang bekerja di kantor kami, yang sudah berpuluh kali menerima ancaman dan teror melalui telepon genggam dan alamat e-mailnya. Tidak banyak yang tahu tentang ini, karena Farida memilih tutup mulut untuk menjaga agar para wartawan dapat bekerja dengan tenang. Diam-diam Farida sudah mengganti nomer HP nya, namun serangan dari orang-orang tak dikenal melalui nomer telepon yang berganti-ganti ini tidak juga berhenti.
Karena kedudukannya yang lumayan tinggi serta pamornya yang cukup besar di Kabul, tak heran dia menjadi target. Namun para penyerangnya tidak mengenali wajahnya. Cukup sial juga ketika seorang wartawati perempuan memutuskan pulang malam ini dengan mobil kantor pas di saat Farida biasa pulang. Sang wartawati duduk di depan pula. Rupanya para peneror menyangka si wartawati ini sebagai targetnya, dan menguntit mobil pegawai ini.
Dan demikianlah kejadian yang menyebabkan semua orang di kantor kami mempertanyakan kembali resiko kita bekerja sebagai penyebar berita. Keamanan di sepanjang jalan ini juga diperketat ketika para pegawai melaporkan kejadian ini ke Kementerian Dalam Negeri. Rumah sang editor perempuan pun dijaga puluhan aparat dan sang target mengeluhkan sudah berhari-hari ini dia tidak dapat tidur tenang.
Saya pun ditampung di KBRI, tempat yang paling aman untuk berlindung di negara seperti Afghanistan. Kawan-kawan yang baik di kedubes pun tidak mengizinkan saya pulang pada malamnya, karena para pelaku kejahatan mungkin melakukan tindakan di luar dugaan.
Leave a comment