Recommendation

Peshawar – Travelling Alone as a Woman, Travel Experience of Lam Li

April 17, 2006

Purdah (AGUSTINUS WIBOWO)

Purdah

“Kenapa mereka selalu hidup dalam ketakutan? Kenapa? Kenapa?”

Ini adalah pengalaman dari seorang sahabat lama seorang Malaysia, Lam Li, yang sedang melakukan perjalanan melintasi Asia dan ‘mau tak mau’ singgah di Pakistan. Sebelum masuk Pakistan dia sudah dipenuhi oleh ketakutan tentang betapa ‘seramnya’ laki-laki Paksitan terhadap perempuan. Namun Pakistan memang bukan seperti yang iya bayangkan. Pakistan bukanlah India. Orang-orang Paksitan lebih ramah dan jujur.

Dia suka Pakistan, itu tak dapat ia pungkiri. Keramahtamahan Pakistan yang dimulai dari Lahore di mana dia diundang menginap oleh seorang lelaki yang baru saja dia temui di jalan, adalah sebuah sambutan yang ramah dari Pakistan. Dalam waktu lima hari tinggal bersama keluarga Lahore itulah yang mengawali penglihatannya tentang Pakistan.

Sebagai perempuan, dia mempunyai akses ke sudut-sudut rumah yang tak bisa saya rengkuh dengan identitas saya sebagai laki-laki. Sebagaimana diketahui, pemisahan seksual di Pakistan sangatlah kental, di mana ruang tamu di rumah pun biasanya masih dipisahkan oleh kelambu sehingga para perempuan tidak bercampur dengan laki-laki. Lam Li, seorang perempuan asing, memperoleh identitas ganda di rumah itu. Sebagai tamu dia boleh berbincang-bincang dengan laki-laki di rumah itu. Sebagai perempuan dia boleh duduk bersama-sama kaum perempuan dalam keluarga. Sebuah posisi yang paling menguntungkan.

Apa yang biasa didiskusikan perempuan Pakistan? Ajaib. Mereka, yang biasanya selalu terbalut burka dan kerudung pekat di jalan-jalan itu, ternyata sangat gemar berdiskusi tentang kecantikan. Lam Li sering ditanya mengenai kosmetika, pelembab, bahkan penghilang rambut. Rambut? Ya, menurut Lam, dia sempat terkejut melihat lengan dan kaki perempuan di keluarga tempat dia tinggal di Lahore yang ditumbuhi oleh rambut. Dan perempuan-perempuan ini sangat ingin tahu tentang rahasia Lam menghilangkan rambut-rambut badannya (namun Lam adalah seorang perempuan Oriental yang memang sudah tidak punya rambut dari sononya). Para perempuan itu juga sempat antusias dengan rahasia Lam membersihkan rambut, maaf, bagian bawahnya. Lam terkejut. Setahu saya, berdasarkan kata teman-teman saya, membersihkan rambut bawah memang wajib hukumnya menurut agama. Saya tidak tahu jika ternyata itu juga berlaku bagi perempuan.

Perempuan Afghan di persimpangan

Perempuan Afghan di persimpangan

Tak hanya tentang kecantikan. Perempuan-perempuan Pakistan ini sebenarnya bertanggung jawab melakukan pekerjaan rumah sehari-hari selama suami-suami mereka bekerja di luar. “Sebenarnya hidup mereka sangat nyaman. Hanya menyiapkan sarapan dan makanan, laundry, bersih rumah…. Selepas itu mereka dah boleh lagi berhias,” komentar Lam tentang kehidupan perempuan dalam keluarga itu. Berhias, mulai dari menghias alis, mata… ya, mata yang indah itu semua hasil trimming,…, mengecat kuku dan tangan. Dan semuanya itu disembunyikan dalam balutan cadar ketika mereka keluar.

Pernah suatu ketika, seluruh keluarga hendak menonton bioskop di Lahore. Para wanita itu, menghabiskan waktu berjam-jam, memilih pakaian, membanding-bandingkan bayangan di kaca, menghiasi seluruh wajah dengan berbagai macam warna, memakai gelang, anting, …, dan ketika jam berangkat, sim salabim, semua sudah terbungkus kain hitam dengan hanya menyisakan sepasang mata yang menatap tajam. Kecantikan yang mereka persiapkan selama berjam-jam, hanya diperuntukkan bagi suami tercinta.

Dalam perjalanan menuju bioskop itu, semua perempuan “disesakkan” dalam sebuah rickshaw. Lam, yang tidak kerasan dengan suasana rickshaw yang panas dan penuh sesak itu memilih untuk keluar. Para perempuan, dengan histeris, melarangnya. “It is very dangerous!!!”
Perempuan-perempuan ini selalu hidup dalam ketakutan. Mereka tak ke bazaar sendirian, mereka tak turun ke jalan sendirian. Selalu setidaknya ada seorang lelaki yang mengawal mereka. Lam pun, sering dilarang keluar rumah. Namun tuan rumah masih bisa mengerti dan mengijinkannya keluar sendirian.

Perempuan Pakistan umumnya tidak pergi ke masjid (AGUSTINUS WIBOWO)

Perempuan Pakistan umumnya tidak pergi ke masjid

Menonton bioskop juga merupakan pengalaman tersendiri. Film Lollywood, jiplakan Bollywood made in Lahore, adalah film-film yang sangat kotor. Di negara Muslim, mereka memang tidak menampilkan bagian tubuh terlarang. Namun gerakan-gerakan yang diimplisitkan jauh lebih erotis daripada blue film. Setidaknya film Lollywood yang dia tonton kali itu, dengan keluarga lengkap dengan anak-anak kecil mereka, tidak memiliki inti cerita sama sekali selain tembak-tembakan dan tarian erotis (misalnya seorang perempuan yang menari, dengan menempatkan pantatnya di atas air mancur yang mengucur dari bawah, dengan gerakan-gerakan yang menyerempet aktivitas dua orang manusia…). Lam sempat heran juga, wanita-wanita itu terkadang “memaksa” bayi-bayinya yang sempat tertidur dengan film yang membosankan itu, untuk membelalakkan mata melihat adegan-adegan dalam layar.

Hidup dalam ketakutan. Suatu pertanyaan yang sering ditanyakan oleh Lam, seorang perempuan Malaysia yang menjalani perjalanan di Pakistan. Ketakutan untuk keluar, ketakutan untuk berjumpa dengan laki-laki lain, bahkan ketakutan jika cadarnya melorot dan wajahnya terbuka. Di Pakistan, perempuan mendapatkan tempat tersendiri di bus. Lam, yang berambut pendek dan bercelana (di Pakistan ini sudah cukup untuk “menyulapnya” menjadi laki-laki), sering menggunakan tempat khusus untuk penumpang perempuan. Para penumpang perempuan, seringkali terkejut dengan kedatangan “laki-laki” ini, dan begitu Lam Li masuk ke kompartemen perempuan, para wanita bercadar dengan segera merapikan cadar mereka untuk menutupi wajahnya sambil melotot tajam menyaksikan “kekurangajaran laki-laki pengintip ini”.

Lollywood - Hollywood dan Bollywood versi Lahore (AGUSTINUS WIBOWO)

Lollywood – Hollywood dan Bollywood versi Lahore

Bagi Lam, Pakistan adalah negara di mana dia tak boleh hidup lama. Baginya, yang terbiasa menghirup alam kebebasan di Malaysia, sebagai wanita perokok ia sering mendapat perhatian luar biasa di jalan. Semua laki-laki memandangnya. Tak boleh merokok di tempat umum, sebagai wanita, itu yang jelas.

Bagaimana perlakuan laki-laki Pakistan terhadap perempuannya? Saya sering mendengar laki-laki Pakistan yang dengan bangganya mengatakan bahwa Islam melindungi perempuan. Dalam satu hal memang benar. Di restoran ada tempat khusus untuk tamu perempuan untuk menghindari mata jelalatan para tamu pria. Di bus juga ada kursi khusus perempuan. Waktu berbaris pun perempuan mendapat prioritas. Dan selalu ada penumpang yang mempersilakan tempat duduk bagi kaum perempuan. Memang benar, laki-laki sini menghormati perempuan. Tak dipungkiri.

Namun, namun, penghormatan dan perlindungan itu, adalah bukti bahwa perempuan tidak setara kedudukannya dengan laki-laki. Perempuan adalah objek untuk dilindungi. Pernah saya ingat seoarang pria Pakistan yang pernah bekerja di Saudi Arabia yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara miskin. “Lihat, sampai perempuan pun terpaksa bekerja!” komentarnya dengan penuh iba melihat para TKW kita yang lebih banyak daripada TKI nya. Bagi orang Pakistan, perempuan Indonesia tidak cukup dilindungi oleh kaum laki-lakinya.

Mungkin dari sudut pandang kita, kehidupan di Pakistan memang tidak cocok bagi kita. Namun mereka sudah terbiasa, dan merasa nyaman, dengan sistem mereka. Lam ingat sebuah foto yang ditunjukkan kepadanya oleh tuan rumahnya, sebuah foto tentang perempuan-perempuan yang bekerja di Malaysia.
“Lihat perempuan-perempuan ini…, kasihannya…. mereka harus bekerja keras…” komentar wanita Pakistan dengan penuh iba melihat wanita-wanita Asia Tenggara yang mencari nafkah di belantara kota besar Malaysia.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*