Islamabad – Theft
April 11, 2006
Saya tinggal di sebuah keluarga di Islamabad. Keluarga ini cukup terpandang dan mempunyai bisnis keluarga yang cukup besar. Secara religius pun sangat dihormati, karena mempunyai nama keluarga Syed, yang berarti keturunan langsung dari Nabi Muhammad. Keluarga Syed Ijaz tinggal di sebuah real estate besar di kawasan orang kaya Islamabad. Islamabad memang dipenuhi oleh orang-orang kaya dengan rumah-rumah raksasa macam istana, macam kompleks Galaxy atau Dharmo di Surabaya.
Walaupun modern dan kaya, keluarga Ijaz amatlah sangat religius. Dalam keluarganya, ruang tamu dipisahkan sehelai kelambu, sehingga tamu laki-laki tak bisa melihat penghuni rumah yang perempuan. Hingga beberapa hari tinggal di rumah ini, aku pun tak pernah tahu ada siapa saja perempuan di sana. Yang jelas banyak sekali, namun selain anak-anak dan bari amma, tak satu pun yang pernah aku lihat secara langsung.
Aku merasa aman tinggal di rumah ini. Aku disediakan sebuah sofa untuk membaringkan badan. Dan tas ku, yang berisi uang dan paspor, aku biarkan saja tergeletak. Toh dalam tradisi Muslim, jika kita bertamu, kita seharusnya mempercayakan diri kita kepada sang pemilik rumah. Pernah aku ingat seorang tuan rumah Uzbekistan yang marah-marah melihat seorang teman yang diundangnya mengunci pintu kamarnya. Bagi tuan rumah UZbekistan ini tindakan macam ini adalah tidak mempercayai tuan rumah, yang baginya juga merupakan penghinaan.
Kemarin malam aku “ditransfer” ke rumah teman salah satu anaknya, yang ingin belajar bahasa Inggris. Aku merasa tidak nyaman, dan malam itu terjadi pertengkaran kecil karena kesalahpahaman. Selain itu, tasku yang juga ditransfer, sudah teracak-acak isinya. Aku menemukan sebuah DVD film orang dewasa yang aku beli di India sudah tak ada di tempatnya. Malamnya, ketika aku menghitung uang tunaiku, sudah raib 10,000 Rs. Aku mempunyai kebiasaan menghitung uang setiap malam dan mengingat nomor terakhir dari lembaran uang di bendelan rupees ku. Dan dari 48 lembar ribuan, hari ini tersisa hingga 38 lembar. Malam itu aku tak bisa tidur tenang.
Sepanjang malam perasaanku tak enak. Apakah aku harus mengatakan hal ini kepada tuan rumahku atau aku simpan sendiri. Selama ini aku dijamu habis-habisan, makan dan minum dengan mewah, tidur pun gratis, dan karena kecerobohanku yang meletakkan tas berisi uang begitu saja di sisi ranjang, kini 10,000 rupee hilang.
PAginya aku memberitahu Ijaz. Ijaz tak di rumah. Aku hanya bilang via telepon. Tak kusangka dia memberitahu seluruh keluarga, sehingga hari itu aku benar-benar tak enak hati. Berbeda dengan kejadian yang sama di Tibet, di keluarga ini sangat kalem dan tenang. Mereka berkata banyak orang yang bertamu tiap hari, jadi tak mungkin tahu siapa malingnya (keluarga di Tibet menangis-nangis dan menyatakan mustahil pencurinya dari keluarga mereka). Mereka memintaku tenang dan mengatakan uangku pasti kembali. Aku merasa tak enak sekali ketika Ijaz sudah menyisipkan 10,000 rupee di tasku, dan memaksaku menerima karena ini tanggung jawab mereka
Bertamu di Pakistan, dan aku merasa sangat sangat berhutang budi
——————-
Sorenya, Madam Mona dan Eva dari Danish Muslim Aid mengundangku berkunjung ke rumah mereka. Madam Mona adalah orang Pakistan, namun pertama kali melihatnya aku tak percaya. Penampilannya benar-benar mirip orang Eropa, dengan rambut merah dan bando pink, serta celana jeans ketat dan kulitnya yang putih, semua orang akan mengira dia dari Perancis. Belum lagi bahasa Inggrisnya yang lebih lancar daripada bahasa Urdunya. Madam Mona kelihatan masih muda. Namun anaknya juga sudah sebesar aku. Ibunya dari Libanon, ayahnya dari Pakistan, karena itulah dia memiliki penampakan yang jauh berbeda dengan perempuan Pakistan pada umumnya. Pendidikannya pun di luar negeri. Sedangan Eva adalah murni orang Jerman, dokter yang akan bertugas di Noraseri selama satu tahun. Aku bertemu mereka di Muzaffarabad, dan mereka terkesan dengan foto-fotoku, sehingga aku diundang ke rumah mereka.
Di sini adalah daerah kaum elit Islamabad, rumah-rumah bak istana, perempuan-perempuan shopisticated dengan gaya bicara yang melambung-lambung. Ada lagi seorang perempuan di sana, seorang perempuan Pakistan namun lebih mirip artis Indonesia dengan pakaian shalwar kameez yang cantik berwarna-warni. Dia adalah pengarah model. Walaupun sesama orang Pakistan mereka saling menggunakan bahasa Inggris.
Mereka berbincang-bincang tentang pekerjaan di Noraseri, tentang anjing anjing peliharaan Mona, tentang makanan-makanan yang sedap, tentang Indonesia, tentang Malaysia, tentang foto-foto, tentang Kazakhstan, tentang pendidikan anak-anak…, perbincangan khas ibu-ibu. Mereka bilang bahwa mereka adalah “Fans” ku. Aku jadi serba salah kalau terlibat dalam perbincangan macam ini. Mungkin juga karena gap usia. Kemudian datang seorang nenek tua dengan putranya yang juga sudah kakek-kakek. Nenek ini adalah orang Inggris, putranya bernama Harun, orang Pakistan. Harun adalah fotografer, dan dia juga memuji fotoku.
Dalam keadaan serba salah ini, aku memilih undur diri.
Leave a comment