Lahore – Ya Hussain
February 9, 2006
Artikel ini ditulis dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang sejarah Islam. Masukan, koreksi, dan kritik sangat diharapkan.
Muharram, adalah bulan yang penuh dengan kemuraman, di Pakistan. Pada bulan ini semuanya seakan dibawa ke dalam suasana perkabungan, mengenang kembali kematian keluarga Khalifah dalam perang di Karbala, lebih dari 1400 tahun yang lalu. Bahkan warung internet yang selalu memasang musik keras-keras, tiba-tiba saja menjadi sunyi. Musik tidak dimainkan sama sekali dalam bulan ini. Para periang pernikahan, penabuh genderang yang biasa menanti rejeki di persimpangan jalan di Rawalpindi tiba-tiba hilang. Tidak ada pernikahan sama sekali selama bulan ini. Dan pesta seks yang berlangsung di kalangan atas remaja Lahore dihentikan sementara selama bulan Muharam.
Bulan perkabungan, bagi seluruh umat muslim dunia, mengenang kembali penderitaan dan pembantaian keluarga Nabi ribuan tahun yang lalu. Terlebih lagi bagi umat Shiah, yang disebut juga sebagai Aliwallah – ‘Pengikut Ali’. Penganut sekte Shiah di Pakistan adalah minoritas, namun perkabungan yang mereka dengungkan selama bulan Muharam cukup mewarnai kehidupan di Pakistan. Shiah sering disebut sebagai agama yang sedih dan muram, karena hari-hari besar mereka seringkali dipenuhi air mata dan darah. Dalam setahun entah berapa puluh khalifah, imam, istri imam besar, ayatullah dan keluarganya yang harus diperingati hari kematiannya, dan hampir semuanya dengan air mata dan raungan kesedihan. Untuk Muharram ini masa perkabungan bagi Shiah adalah minimal 40 hari, dan kesedihan itu benar-benar terasa.
Puncak dari perkabungan Muharam jatuh pada tanggal 9 dan 10 Muharam, dengan sebuah perayaan yang disebut Ashura. Pada hari ini banyak penganut Sunni yang memilih meninggalkan kota dan berpiknik keluarga (berhubung di Pakistan Ashura ditetapkan sebagai hari libur nasional) untuk menghindari pemandangan yang sangat menyeramkan di pelbagai penjuru kota. Toko-toko semua tutup, dan Lahore, kota yang biasanya hiruk pikuk, kini sesunyi Jakarta pada saat lebaran. Ketika pagi dimulai, para penganut Shiah mulai memenuhi pusat-pusat perkabungan. Biasanya di dekat masjid atau mazhar orang suci tertentu. Non Muslim dan bahkan non shiah biasanya tidak diizinkan untuk masuk, namun mengingat kebangsaan saya Indonesia, saya mendapatkan akses meliput dengan cukup mudah. Perempuan berbalut cadar hitam – hitam, laki-laki dengan wajah tak berhias senyum, serta anak-anak kecil yang mungkin juga tidak mengerti keramaian apa yang akan terjadi. Semuanya duduk berbaris rapi, bersaf-saf dan berlajur-lajur. Ada tempat khusus untuk para pelayat pria dan barisan wanita yang dipisahkan oleh selembar layar.
Di mimbar, seorang ‘majelis’ menyampaikan orasi. Setiap majelis menceritakan tentang penderitaan Hussain, cucu Nabi yang berjuang melawan kebatilan di Karbala (sekarang Iraq). Dengan kemampuan bahasa Urdu yang terbatas saya cuma berhasil menangkap beberapa bagian dari orasi itu. Padang gurun yang panas menyengat, air tak ada, semuanya kering, dan Hussain harus berjalan tertatih-tatih melintasi penderitaan.
Pendengar mulai terbawa emosi, terdengar teriakan-teriakan “hai… hai…” yang kemudian disambung dengan usapan sapu tangan menyapu mata yang sembab. Sang majelis terus menceritakan perjuangan Hussain yang kemudian selalu disambung oleh tangisan yang menyayat hati dari ratusan pendengar yang duduk bersila di bawah mimbar. Majelis, dengan orasi yang dibumbui oleh tangis dan suara yang berat, serta nyanyian melambungkan asma Allah oleh dua tiga pengiring di sampingnya, membawa suasana kesedihan menyelimuti seluruh pendengar. Tangis, adalah sesuatu yang menular. Beberapa perempuan tua memukul-mukul dadanya, remaja pria menangis histeris sambil memukul-mukul kepalanya seraya membenturkan ke dinding tempatnya bersandar. Majelis melantukan doa dengan merdu bersama-sama dengan pengiringnya, sambil sesekali meneriakkan “maatam karo, maatam karo”, artinya “lakukan maatam”. Maatam adalah kegiatan memukuli diri sendiri untuk menyatakan duka cita. Selama maatam, seluruh tutup kepala harus dilepas. Saya yang kurang faham tradisi Shiah sempat diperingatkan karena masih mengenakan peci hitam saya.
Duka cita, diwujudkan dengan menyakiti diri sendiri, dengan memukuli diri dengan keras, adalah perwujudan rasa cinta para penganut Shiah ini kepada keluarga Nabi. Raungan “ya Hussain, ya Hussain” terdengar bertalu-talu, tangisan kesedihan yang menyayat hati siapa pun, perempuan-perempuan yang memukuli dada dan kepalanya sendiri keras-keras, serta laki-laki yang menangis histeris adalah suasana orasi Ashura.
Orasi dimulai pagi-pagi sekali, pukul 11 pagi lautan massa sudah memenuhi lapangan luas itu. Dan orasi berlangsung hingga pukul 5, dengan beberapa orang majelis berganti-ganti menceritakan penderitaan keluarga Nabi. Massa, yang mendengar kisah yang seratus persen sama tiap tahunnya dalam waktu dan kesempatan yang sama, masih tetap saja histeris dan menangis keras. Tangisan yang beberapa saat terhenti oleh orasi, namun kemudian meletus lagi. Demikian emosi para pendengar berjalan laksana gelombang transversal, naik-turun, dan menyebar ke semua penjuru. Beberapa orang membangkitkan kembali emosi dengan meneriakkan “Hussain zindabad, hussain zindabad, yassid murtabad, yassid murtabad” (hiduplah Hussain, matilah Yassid…)
“hai… hai… Hussain…” dan ledakan tangis laki-laki dan perempuan pecah bersamaan.
Saya yang tidak begitu paham keseluruhan pidato majelis pun ikut terbawa suasana, dan sesekali saya tanpa sadar memukuli dada saya sendiri untuk meredakan emosi yang entah mengapa ikut memuncak.
Puncak dari Ashura, yang menurut penganut Shiah adalah wujud cinta mereka kepada keluarga Nabi, baru dimulai setelah orasi berlangsung lebih dari 6 jam. Pisau-pisau kecil tampak berseliweran selama orasi, dibawa oleh para pria berbaju putih bersih dengan ikat kepala bertuliskan huruf-huruf Arab. Pisau-pisau inilah yang akan menghiasi rasa cinta ini dengan ketajamannya, darah. Ketika orasi mencapai puncaknya, seluruh lautan massa menangis keras dan suara pukulan-pukulan pada kepala dan dada berlangsung serempak, tamparan-tamparan di wajah sendiri meninggalkan jejak-jejak tangan, ketika perempuan-perempuan sudah meledak air matanya di balik cadarnya yang hitam pekat – warna kesedihan, serta laki-laki sudah mulai melepaskan pakaiannya, semua emosi kesedihan sudah mencapai puncaknya. Dan massa mulai tidak terkendali. Semuanya berdiri dan saling mendorong, laki-laki yang bertelanjang dada saling berebutan kalung pisau dan mengambil tempat di lapangan tengah yang dikosongkan oleh massa yang sudah kacau balau. Tempat semula di mana para pendengar itu duduk, kini menjadi ajang penyiksaan diri para laki-laki dengan memukulkan rantai-rantai pisau di punggung mereka. Satu rantai mengikat tiga, empat bilah pisau, dipukulkan ke punggung oleh tangan kanan, bergantian dari kanan dan kiri leher. Darah mengalir. Wujud pengorbanan. Darah menyiprat, membahasahi mereka yang menonton dari dekat, menularkan emosi kepada mereka yang di pinggir untuk bergabung menyiksa diri. Kakek tua yang tak berhasil mendapatkan pisau, memukuli sendiri kepalanya hingga rambut putihnya kini berganti warna menjadi merah. “Ya Hussain, Ya Hussain” teriakan bertalu-talu dan kini menjadi serempak. Darah…tersebar di mana-mana, dan terciprat setiap kali bilahan pisau itu bersinggungan dengan permukaan punggung yang mulus. Para penonton sebenarnya adalah petugas yang menghalangi penyiksaan itu berlangsung di luar batas. Pada saat ini semua orang histeris, sehingga sayatan-sayatan pisau itu dirasakan sebagai kenikmatan surgawi. Mereka yang masih ‘berfikiran sehat’ berusaha untuk mengambil alih pisau dari para penyiksa diri yang sudah mencapai puncaknya. Ashura, di mana penyiksaan diri dilakukan dalam emosi yang sudah menghapus kesadaran, adalah perayaan yang selalu dibarengi dengan jatuhnya korban jiwa.
Tidak hanya laki-laki dewasa, anak-anak pun memukuli dirinya dengan rantai pisau. Pisaunya berukuran lebih kecil, dan mungkin karena emosi mereka yang tidak meledak karena tidak begitu memahami isi orasi, mereka memukuli punggung mereka perlahan-lahan. Dan darah pun terciprat sedikit demi sedikit dari punggung-punggung mulus bocah-bocah kecil. Bahkan ada pula ayah yang memukulkan pisau untuk menyayati punggung anaknya.
Kuda putih digiring masuk, orang-orang berebutan untuk menyentuh dan menciumnya. Para perempuan bertarung dengan laki-laki dan anak-anak untuk mencapai kuda putih, sedangkan petugas berusaha mengamankan kuda malang yang tanpa tahu mengapa harus menjadi pusat segala keramaian massa ini. Kuda itu dicium dan diraba oleh ratusan manusia. Beberapa saat kuda itu sempat menjadi marah dan massa terpaksa menyingkir beberapa saat.
Darah mengalir deras di punggung yang berwarna merah sama sekali, dan setelah acara penyiksaan dengan pisau, laki-laki berbaris berhadap-hadapan, bersama-sama mendengungkan derasan-derasan doa, sambil memukuli dadanya serempak. Pukulan di dada itu, sedemikian keras dan serempaknya, sehingga laksana menjadi musik yang mengiringi doa panjang berulang-ulang itu. Sesekali cepat, sesekali lambat. Dada para pria yang tak mengenakan pakaian itu menjadi merah, karena darah segar berusaha berontak dari dalam tubuh mereka, dan terhalang oleh selapis kulit dada.
Wujud cinta. Penderitaan sendiri sebagai wujud cinta atas orang-orang yang meninggal ribuan tahun yang lalu. Dan mereka melakukannya dengan rasa kebanggaan yang luar biasa. “Ikut merasakan penderitaan keluarga Nabi,” demikian kata seorang pemuda Shiah ketika ditanya tentang tujuan dari segala perayaan ini. Dan darah yang membasahi semua orang, baik yang menyiksa diri atau sekedar menonton, adalah puncak dari segala perkabungan ini.
Jujur,dari blog inilah saya mendapatkan gambaran pertama tentang perayaan Azurra yang ternyata.. astaga sangat mengerikan. Maaf kalau tak setuju — tapi menurut saya ini terlalu bar-bar. Saya juga tahu ada negara bermayoritas katolik, misalnya filipina yang juga melakukan aksi penyiksaan, tapi biasanya hanya satu orang dan dia sudah sejak awal menyatakan dirinya mau berkorban untuk itu. Jadi darah hanya mengucur dari satu orang saja, tidak massal begini…
Mengerikan sekali…
Kamu beruntung bisa menyaksikan dan mereport kejadian ini.
Duh, kapan dunia akan damai kalau praktek penyembahannya saja seseram ini…
Hmm.. pas nonton di TV gak ngerti knp perayaan muharam malah jd menyiksa diri, dari sini baru ngerti deh maksudnya. Tp serem bgt.
Kayaknya pernah liat juga, tp di UK. Waktu itu ngga ngerti ada apaan, kok orang-orang Pakistani sambil pada bawa bendera negaranya dan banner dng tulisan arab ato urdu(?) pada mukulin badan pake rotan dan rantai. Baju putih dan beberapa yg top-less (cowo tpnya) keliatan ber-darah2.Kirain obat merah cuma untuk atribut demo :-D, ternyata beneran ya. Tp sempat ngeri juga, kirain mau ada kerusuhan ato apa soalnya mereka pada teriak2 histeris. Serem.
Kesannya ngga menarik, dan ngeselin krn bikin macet jalanan umum.