Recommendation

Aplaus (2009): Single Fighters – True Story Unveiled

Edisi 112

Aplaus

Fokus

0903-Aplaus-interview01

http://www.aplausthelifestyle.com/result_detail.php?id=1245&index=36

Single Fighters: The True Story Unveiled
Teks oleh Linda Yusmiyani & Judika B.M
Foto Bobby Wongso Wennars, Istimewa & dari berbagai sumber

Menjadi single fighter bukan berarti harus merasa sendiri. Justru merupakan proses perjuangan untuk melatih melupakan ego, percaya diri dan mensyukuri kemandirian yang telah dianugerahkan.

BANYAK hal yang harus dilewati untuk menjadi sukses karena kemandirian. Mulai dari jalan berbatu, berliku, bertemu dengan orang yang salah, merasakan jatuh, sebelum akhirnya menggenggam sukses sejati seperti mereka ini.

1.Go Far And Experience The World
Agustinus Wibowo (Backpacker)

Masih muda, tapi pengalaman backpacking-nya segudang. Apalagi kegigihan dan kemandiriannya dalam menelusuri hampir seluruh negara di Asia.

Awal petualangan backpaking kamu gimana sih?
Tahun 2001 saya terinspirasi seorang teman perempuan dari Jepang yang melakukan perjalanan sendiri mengelilingi negara Asia Tenggara, tanpa menguasai bahasa selain bahasa Jepang. Dari petualangannya, setahun kemudian saya melakukan backpacking pertama ke Mongolia, berkemah mengelilingi negeri itu selama tiga bulan.

Perjalanan backpacking kamu sudah ke mana aja?
Tahun 2005, ketika baru lulus kuliah di Beijing, saya bercita-cita melakukan perjalanan panjang dari Beijing ke Afrika Selatan, melalui jalan darat. Perjalanan saya bertahan selama 1 tahun 7 bulan, melintasi pegunungan Tibet, Nepal, lalu ke gurun pasir India, pegunungan di Pakistan Utara. Lalu bekerja sebagai sukarelawan gempa Kashmir, ke pedalaman Pakistan, berkeliling Afghanistan dengan hitchhiking, lalu ke Iran, Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan. Sekarang di Mongolia lagi. Merencanakan negara yang akan dikunjungi selanjutnya.

Hal-hal yang pernah menghambat perjalanan kamu ada nggak?
Setelah hampir berkeliling negara Asia Timur, saya pernah kehabisan dana sehingga kembali ke Afghanistan, bekerja sebagai jurnalis selama sekitar dua tahun. Ketika bersiap melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah, ibu saya jatuh sakit mengidap kanker ganas. Sehingga saya pulang dan menerbangkan beliau berobat selama dua bulan di Shenzhen. Setelah sembuh, saya melanjutkan perjalanan. Kini saya di pegunungan Mongolia Barat dan akan berkeliling selama 3 bulan. Pernah juga saya terhambat karena visa/izin tinggal tak bisa diperpanjang, sementara saya masih ingin tinggal lebih lama. Tetapi saya percaya bahwa setiap hambatan ada hikmahnya.

Wow… Benar-benar petualangan yang mendebarkan ya! Trus, kalau kamu disebut the real single fighter setuju?
Saya melakukan perjalanan sendiri tanpa travel companion, agar lebih banyak belajar, terlebih berinteraksi dengan penduduk lokal. Misalnya ketika bepergian ke pegunungan Pamir di Afghanistan Utara. Tempat ini sangat terpencil. Harus melakukan pendakian gunung terjal selama 5 hari berkuda, melintasi jurang dan sungai deras. Sementara saya hanya berbekal satu tas ransel kecil dan tak bisa berkuda. Untung, tiba-tiba rombongan tentara perbatasan Afghanistan yang hendak mendaki gunung tersebut menawarkan bantuan menjadi rekan seperjalanan hingga mencapai puncak padang rumput pada ketinggian 4.500 meter—di mana kaum nomaden Kirghiz menggembalakan ternak. Perjalanan ini menakutkan, karena jalanan hanya selebar 30 cm di tepi jurang terjal, sedangkan saya harus berlatih keseimbangan di atas kuda yang mendaki bukit terjal, terkadang nyaris tegak lurus. Salah sedikit berarti maut. Lewat bantuan mereka, saya bisa mencapai tempat tersebut. Bukan berarti saya selalu single fighter, karena selalu ada yang membantu.

Arti single fighter buat seorang Agustinus?

Menjadi single fighter adalah melatih untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Tidak semua dapat kita atasi sendiri. Menjadi single fighter justru membuat saya merasa saya tak pernah sendiri. Mencapai destinasi sudah bukan yang terpenting. Perjuangan perjalanan itulah yang memberi makna. Saya belajar melupakan ego, lebih fleksibel, dan percaya bahwa semua ada yang mengatur.

0903-Aplaus-interview02
2.Success: The Fruit of Hardwork
Joy Destiny Tobing (Soloist)

Betapa gemilangnya dara satu ini. Bermodalkan nyali besar, percaya diri serta bakat yang tak terhingga, Joy sudah menunjukkan segenap potensinya di jalur solo. Inilah sebagian rentetan cerita kemandirian dara yang sudah piawai nyanyi sebelum dinobatkan sebagai jawara Indonesian Idol I.

Seperti apa perjalanan seorang Joy sekarang?Sekarang, untuk menjadi penyanyi mungkin nggak sesulit dulu. Ini tidak bagi saya, karena menyanyi bukan hal baru lagi, karena sedari usia lima tahun, saya sudah menjajaki dunia tarik suara. Sudah 24 tahun saya di sini. Waktu TK saya berbeda dengan teman-teman karena komposisi suara dan keberanian yang saya miliki. Bakat menyanyi ini selain karena keturunan, juga karena selalu diasah. Semua yang ada sekarang tidak mudah diraih lho. Sebab waktu yang saya pakai untuk mencapainya juga nggak sedikit.

Poin penting yang kamu andalkan untuk tetap bisa survive?
Bagian tersulit untuk tetap survive adalah ketika mengatur diri sendiri. Selain itu, kerendahan hati bagi saya juga penting. Apalagi sekarang banyak kesempatan untuk menjadi penyanyi. Jadi sebenarnya nggak ada yang perlu ‘terlalu’ dibanggakan ketika menerima anugerah sebagai penyanyi.

Lantas seberapa penting ikatan manajemen terhadap eksistensi penyanyi?
Keduanya punya nilai positif dan negatif. Positif karena keduanya bisa saling menghargai, transparan dan bertanggung jawab. Namun nggak bisa dipungkiri beberapa aturan manajemen cukup memberatkan penyanyi demi mengejar rating yang mempengaruhi manajemen.

Eksistensi dan percaya diri kamu bergantung pada…
Tuhan. Selain itu, keluarga dan teman-teman dekat juga menjadi sokongan untuk tetap eksis. Hm… sebenarnya bergantung dengan sesama manusia itu perlu, tapi jangan sampai kecenderungan, karena ini bisa membuat terlena dan kita menjadi kurang mandiri.

Single fighter adalah…
Sebuah anugerah. Semua orang diberi kesempatan untuk memilih. Hanya diri sendiri yang bisa menentukan, kemandirian itu mendingan diterapkan daripada disimpan saja. Pemain single fighter umumnya tau betul kekurangan dan kelebihannya dan akan mengkoreksi kesalahan untuk perbaikan ke depan. Sikap ini nggak dimiliki semua orang. Itu sebabnya menjadi single fighter adalah sebuah anugerah.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

6 Comments on Aplaus (2009): Single Fighters – True Story Unveiled

  1. Wow… masi di Mongol to?
    good luck bro… kabar2in klo ke Beijing lagi.. ^_^

  2. dulu waktu kisah Titik Nol masih ada di kompas online, saya selalu ngikutin bro. tapi sekarang keknya kok ga ada lagi ya?

    btw, salah kenal ya ^^ keknya mulai sekarang saya bakal ngikutin blog ini deh. 😀

  3. sudah di mongolia lagi kamu gus… mantap!
    jadi kapan bukumu diterbitkan? banyak yang nunggu-nunggu nih

  4. mas agus, mana postingan barunya ?
    sekarang mas agus dimana ?

    saya ga sabar nunggu . setiap hari saya selalu buka web ini, tp selalu ga ada postingan baru ..

    saya kangen nih, baca kisahnya mas agus !

  5. You are back!! Looking forward to your next journey and wonderful stories 😀

  6. makasih infonya mas

Leave a comment

Your email address will not be published.


*